Jujur, mungkin gue terlalu awal buat mengenal cinta. Saat itu, gue duduk di kelas 3 SD di mana gue akhirnya tau apa itu cinta. Ya mungkin kalau bisa dibilang cinta gue masih cinta monyet yang berarti gue adalah monyetnya, puas?
Baru setahun gue pindah dari kampung halaman gue, Yogyakarta, ke sebuah kota kecil di daerah pegunungan yang pada saat pindah pun baru gue denger namanya. Tasikmalaya. Gue pindah karena gue harus ikut ayah gue yang pindah kerja. Sebenernya, jujur aja, gue sedih banget harus ngelepas Yogyakarta-sebagai kota yang gue cintai-. Tapi, gue juga seneng, karena ga ada lagi yang bakal ngejek gue atau ngebodohin gue.
Pertama kali gue pindah ke Tasikmalaya, gue kira keluarga gue bakal tinggal di sebuah rumah di tengah kota. Tapi ternyata...
Gue tinggal di sebuah kecamatan (yang istilahnya) terpencil di sudut kota. Mana terpencil, jauh dari kota, dan di gunung, lengkaplah sudah. Pada saat itu terasa banget perbedaannya antara kehidupan gue di Yogyakarta yang cenderung selalu panas dan di kecamatan yang bernama Pagerageung ini yang udaranya selalu dingin.
Setahun berlalu. Telinga dan mulut gue masih belum terbiasa dengan bahasa daerah di kecamatan itu. Pengucapan 'eu' yang dibaca aneh menjadi rutinitas latihan gue setiap pulang sekolah.
Suatu hari, gue sedang duduk bersama adik dan pembokat di depan rumah saat seorang anak lelaki lewat di depan rumah bersama ayah dan adik lelakinya. Terlihat ayahnya membawa jala dan bisa gue pastikan ketiganya baru selesai memancing. Di sini, yang gue perhatikan bukan ayahnya, tapi anak lelaki itu. Ga seperti biasanya, hati gue tiba-tiba ga karuan, kaki gue tiba-tiba lemes, rasanya pengen langsung masuk ke rumah dan ngumpet. Alhasil, gue hanya bisa ngumpet di balik pohon lengkeng di depan rumah (romantis bukan?). Saat penyembunyian diri itulah, gue tau dan gue yakin kalau gue kenal anak lelaki itu. Tapi gue, lupa lagi siapa namanya.
Esoknya, semua terjawab...
Namanya Bian Dwi Ananda. Singkat kata, gue suka dia (oke, karena paksaan gue bilang dia cinta pertama gue). Hingga suatu momen yang membuat gue makin deket dengan dia. Saat itu, gue coba-coba ikut (istilahnya) audisi buat pentas seni akhir tahun nanti. Guru seni budaya gue, Bu Ninin, memilih gue untuk jadi pemain tari pasangan. Gue liat semua temen gue udah ada pasangannya, tapi gue?
Dan tiba-tiba Bu Ninin bilang sesuatu yang sampe sekarang masih gue inget, "Bian tarina sareng Nadia, nya?"
*ctaaaar ctaaaar ctaaaar* (Tiba-tiba bunga tulip pun berjatuhan dari langit. Entah dari mana asalnya)
Tiap pulang sekolah kami latihan. Gue kira semua akan berjalan sukses hingga pada saat Bu Ninin ngasih gerakan supaya kami-yang berpasangan cewek cowok-untuk saling berpegangan tangan. Gue, yang pada saat itu masih minim pengetahuan tentang cowok dan merasa cowok adalah sesuatu yang mistis, mencoba untuk tidak menyentuh kulit telapak tangan pasangan
Setahun kemudian...
Gue udah duduk di kelas 4 SD ketika sekolah gue akan direnovasi-dan itu mengharuskan gue dan para siswa lainnya untuk diungsikan di salah satu gedung pesantren di deket rumah gue-. Ga ada meja dan kursi seperti biasanya, yang ada hanya meja panjang dan karpet yang menjadi alas duduk kami.
Hari itu, gue kebagian duduk di belakang. Istirahat tiba dan gue pun pergi keluar untuk mencari pengganjal perut dan meninggalkan tas selendang berwarna merah muda pemberian kedua orang tua gue. Saat gue balik ke kelas, temen gue sontak kaget ngeliat sebuah amplop kecil yang nyembul dari tas gue dan dia berlari ke arah tas gue dan mengambil amplop itu sebelum gue sempat-
"HEY DI TASNA NADIA AYA SURAT!", teriaknya.
-membekap mulutnya.
MATI. Satu kata yang bisa menggambarkan keadaan gue saat itu. Keringet dingin bercucuran dari tubuh gue. Mungkin lagunya Mama Vina Panduwinata-Surat cinta pertama-tidak sesuai dengan keadaan gue. Gue ga tau siapa gerangan yang dengan beraninya ngirim surat ke gue. Yang gue tau, dulu gue ga cantik.
Temen gue-yang dengan semangat 45nya berteriak tentang adanya surat di tas gue itu-langsung membuka amplop dan isi surat itu. Suaranya cukup keras dan bisa membuat hampir seisi kelas mendengarkannya. Gue lupa lagi gimana isinya, tapi yang jelas di situ digambarkan bahwa saat pentas seni gue terlihat sangat cantik di matanya.
Siapa dia? Siapa yang menulis surat itu?
To be continued...
No comments:
Post a Comment